Right Button

test bannerSELAMAT DATANG DI WEBSITE KAMI "MINANGKABAU SUMBAR NEWS"PEMBACA SETIA KAMI"HADIR UNTUK ANDA ORANG SUMBAR DENGAN BERITA TERBARU TERKINI POLITIK EKONOMI SOSIAL BUDAYA SuMBAR DAN NASIONAL"PASANG IKLAN ANDA DISINI HUB:081267663887

Ketika Negara Gagal Menyediakan Lapangan Kerja,,Tapi Gesit Memungut Pajak


Minangkabau Sumbar News.Com.-Di Suatu hari di bawah kolong langit yang semakin sempit dan panas oleh terik, seorang pemuda bernama Surya—yang tidak ada hubungannya dengan PLN atau Sinar Matahari—mendadak mendapat pekerjaan setelah lima tahun berjudi dengan nasib. Bukan pekerjaan tetap, bukan pula pegawai negeri, apalagi staf khusus. Ia hanya jadi operator fotokopi di ujung gang kantor kelurahan. Tapi demi Tuhan dan negara, itu pun ia syukuri, karena selama ini ia lebih akrab dengan formulir lamaran kerja daripada dengan slip gaji.Senin (23/6/2025)

Begitu mendapat pekerjaan, tanpa upacara potong pita, negara langsung datang. Bukan lewat sambutan Menteri Ketenagakerjaan atau senyum manis Wakil Presiden di televisi, tapi lewat potongan-potongan kecil pada penghasilannya yang bahkan belum cukup untuk beli kopi sachet rasa asli. PPh pasal sekian, iuran ini, pungutan itu. Seakan negara berkata, “Selamat bekerja, mari kita nikmati hasil jerih payahmu bersama-sama.”

Tapi tunggu. Bukankah dulu negara—atau wakil-wakilnya yang duduk di singgasana empuk nan ber-AC—berjanji akan membuka jutaan lapangan kerja? Bukankah rakyat diberi angan bahwa dengan pembangunan ini-itu, akan muncul peluang-peluang baru bagi mereka yang selama ini cuma jadi penonton pembangunan? Tapi nyatanya, banyak yang masih menganggur. Dan yang lebih lucu lagi, angka pengangguran bisa saja menurun bukan karena semua orang bekerja, tapi karena statistiknya diolah dengan cinta.

Jadi, bagaimana ini bisa disebut adil? Negara tak sempat mengantar si Surya ke meja kerja, tak juga membantu melatih skill-nya yang sudah kedaluwarsa oleh zaman. Tapi begitu ia mencium bau kertas gaji, tangan negara langsung muncul dari balik dinding, memotong sebagian sebagai “tanggung jawab warga negara.”

"Sangat Lucu juga, rakyat ini seperti orang yang dipinjamkan payung saat cuaca cerah, lalu diambil kembali ketika hujan mulai turun. Ketika tak punya pekerjaan, mereka disuruh bersabar. Ketika sudah kerja, mereka disuruh bayar.

Di titik ini, saya ingin mengajukan pertanyaan yang tak perlu dijawab: apakah negara kita ini orang tua yang suka memalak anaknya sendiri saat baru belajar jalan? Atau mungkin seperti tukang parkir yang muncul setelah mobil kita susah payah mundur sendiri, lalu berkata, “Terima kasih, Bang. Seribu ya!”

Negara, oh negara, begitu cepat mengambil, begitu lambat memberi. Kalau memang negara tak bisa menyediakan pekerjaan, setidaknya beri waktu bagi rakyat bernapas sejenak sebelum diperas. Tapi apa daya, kita hidup dalam republik yang kadang lebih seperti koperasi pungutan, di mana rakyat adalah anggota yang wajib setor, tapi tidak tahu dana dikelola ke mana.


Surya akhirnya tetap bekerja. Ia masih tersenyum, meski giginya tinggal separuh. Karena begitulah hidup di negeri ini: kita belajar mencintai negara, meski ia sering memperlakukan kita seperti mantan yang cuma datang saat butuh.

Esai ini bukan ajakan untuk membangkang pajak. Tapi jika negara ingin rakyat taat, mulailah dengan menepati janji. Jangan terus-terusan membebani pundak rakyat kecil yang baru saja bangkit dari kubangan pengangguran. Jangan jadi negara yang hanya kuat saat memungut, tapi lemah saat diminta memenuhi. (***)

Posting Komentar

0 Komentar

Kami Hadir Untuk Pembaca Mediaonline Minangkabausumbarnews.com - Berita Lugas, Aktual dan Kritis Untuk Masyarakat Sumatera Barat