Risiko Ekonomi investasi Dan Politik Dinasti Di 2025.
Oleh:Redaksi
Minangkabau Sumbar News.Com-Urusan politik tidak pernah terlepas dari urusan ekonomi, dan Sebaliknya. Kekuasaan lebih besar memberi peluang lebih besar untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Kekuatan ekonomi lebih besar juga membuka jalan lebih lebar untuk memenangkan kontestasi politik. Tidak ada yang salah dari fenomena tersebut. Faktanya, sebagai contoh, memenangkan pemilihan kepala daerah memerlukan pendanaan yang tidak sedikit. Di sisi lain, setelah berkuasa, seseorang kepala daerah memiliki akses mempengaruhi anggaran ditujukan untuk apa dan bagi kepentingan siapa.
Ibarat senjata, kekuatan politik bisa bermanfaat demi kebaikan, namun juga bisa merusak. Kekuatan politik bisa terutama ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat seluas-seluasnya, atau hanya demi kelompok tertentu dan merugikan sebagian yang lain. Risiko ekonomi ini tentu saja menjadi sangat besar saat kelompok tertentu atau bahkan keluarga tertentu sangat mendominasi peta kekuasaan di suatu daerah. Orang-orang dalam jalur kekerabatan tertentu, bisa saja memonopoli kekuatan eksekutif di pemerintah daerah, kekuatan legislatif di dewan, ditambah dukungan kerabat di lembaga penegakan hukum, bahkan disempurnakan dengan dukungan kerabat di pemerintah pusat dan lembaga legislatif di tingkat nasional. Kekuatan ekstra besar semacam ini cenderung mampu melanggengkan kekuasaan mereka dari satu periode ke periode berikutnya, terus dan terus, layaknya sebuah dinasti, tepatnya dinasti politik. Semuanya bisa diatur demi kepentingan mereka sendiri, baik itu urusan anggaran, proyek, maupun perkara hukum.
Sebagai perbandingan di bidang ekonomi, perusahaan yang memonopoli pasar juga bisa merugikan masyarakat. Monopolis tidak mempunyai pesaing yang seimbang. Posisinya memungkinkan menetapkan harga jauh lebih tinggi dari pada andainya banyak pesaing yang seimbang. Karena daya beli Masyarakat yang terbatas, jumlah barang yang terbeli menjadi lebih sedikit. Konsumen disengsarakan karena tiga hal, terpaksa harus bayar lebih tinggi, terpaksa harus mengonsumsi lebih sedikit, atau bahkan tidak mampu membeli sama sekali. Meskipun barang yang terjual menjadi lebih sedikit, sang monopolis tetap menikmati penerimaan lebih besar karena persentase kenaikan harga relatif lebih besar dari pada penurunan jumlah barang terjual. Sepanjang biaya tidak berubah, penerimaan lebih besar sama saja dengan laba lebih besar. Sistem ini menyebabkan sebagian kecil masyarakat sangat diuntungkan, yaitu kaum monopolis, dan di sisi satunya sangat dirugikan, yaitu masyarakat luas. Menyadari hal ini, Indonesia memiliki lembaga yang bertanggung jawab untuk mencegahnya, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Kebetulan saja namanya mirip KPU atau Komisi Pemilihan Umum. KPU dan KPPU, bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu, sama-sama memiliki peran mencegah terjadinya persaingan tidak sehat. Bedanya, yang satu di bidang politik, satunya lagi bidang ekonomi.
Politik dinasti kurang lebih menimbulkan risiko yang sama. Sama-sama bisa bertindak tanpa ada mekanisme kontrol. Lebih parah lagi, monopoli kekuasaan melahirkan monopoli informasi. Penguasaan informasi menjadi sangat tidak simetris. Informasi yang bisa membentuk opini publik didominasi pemegang kuasa, sementara sebagian besar masyarakat hanya bisa menerima informasi apa pun yang ingin disebarkan oleh penguasa, entah nyata atau propaganda. Dalam era teknologi informasi ini, informasi juga menjadi kunci kekuasaan, politik dan ekonomi. Akhirnya opini publik terhadap legitimasi penguasa bisa direkayasa melalui saluran berita atau media sosial atau rilis hasil survei. Salah bisa menjadi benar, tidak sah bisa menjadi sah, dan sebaliknya.
Bagaimana fakta perekonomian yang menjalani politik dinasti? Berikut ini adalah contoh aktual yang terjadi di Korea Utara hingga saat ini. Kim Il Sung adalah pendiri Korea Utara dan mulai berkuasa sejak 1946. Penguasa selanjutnya berturut-turut selalu dari keturunannya, maka terbentuklah Dinasti Kim yang mengendalikan segala aspek kehidupan rakyatnya. Kim Jong Il melanjutkan mulai 1994 dan Kim Jong Un mulai 2011 hingga sekarang. Bagaimana perekonomiannya? Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto per kapita Korea Utara Tahun 2018 adalah US$639,6, atau hanya tidak lebih dari satu per tujuh dari Indonesia yang sebesar US$4.135,6 pada tahun yang sama. Sebuah artikel di jurnal ilmiah Humanities and Social Sciences Communications Tahun 2020 menyebutkan jumlah penduduk yang miskin ekstrem di Korea Utara Tahun 2018 mencapai 60%. Angka kemiskinan yang non-ekstrem pasti lebih tinggi lagi, apalagi setelah pandemi. Sebagian besar penduduknya miskin.. (***)
Komentar
Posting Komentar